.

22 November 2010

Bencana Merapi Dalam Perspektif Islam

Beberapa hari terakhir ini Indonesia mendapatkan ujian luar biasa dari Allah SWT. Sebut saja tiga bencana alam dahsyat yang menerjang belahan Nusantara bertubi-tubi. Mulai dari banjir bandang yang menyapu Wasior-Papua Barat, tsunami yang menerjang Mentawai-Sumatera Barat, sampai erupsi Merapi yang tak kunjung reda hingga hari ini. Kita tak akan membahas secara luas bagaimana bencana beruntun ini bisa terjadi, namun yang menjadi fokus adalah bencana Merapi yang paling dahsyat diantara ketiga bencana itu. Seolah menjadi pemuncak, Merapi sepuas-puasnya memuntahkan isinya ke permukaan bumi atas perintah Allah SWT. Bagaimana tidak, letusan kali ini sangat berbeda dengan letusan-letusan Merapi sebelumnya, terutama pada 3 letusan sebelumnya (yakni tahun 1994, 1998, dan 2006). Perbedaan itu ialah letusan 2010 ini berasal dari magma paling dalam, sedangkan letusan-letusan sebelumnya hanya berasal dari magma dangkal (keterangan kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada 5 November 2010 - VIVAnews). Hal ini menyebabkan letusan Merapi kali ini bisa bersifat eksplosif dan memiliki daya hancur yang jauh lebih dahsyat daripada letusan-letusan sebelumnya. Keterangan ini juga dibenarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Earth Observatory of Singapore (EOS). Mereka mengatakan bahwa sejak tahun 1870-an, Merapi hanya mengeluarkan letusan yang terdorong dari magma dangkal kedalaman sekitar 2 kilometer, sedangkan sekarang berasal dari magma dalam yang sangat dalam sekitar 6-10 kilometer. Akibatnya, erupsi Merapi kali ini amat parah dan mendapatkan predikat sebagai erupsi terparah seabad terakhir, na’udzubillahimindzaligh.





Akibat dari bencana ini, sekitar 279.702 penduduk lereng Merapi terpaksa turun gunung menjauhi radius 20 KM dari puncak Merapi dan tersebar di ratusan barak pengungsian. Baik warga dari Boyolali, Klaten, Yogyakarta, Magelang, dan sekitarnya terpaksa mengungsi guna menyelamatkan diri dari ancaman awan panas yang siap menerjang kapanpun tanpa terduga. Awan panas atau disebut juga wedhus gembel ini amat ditakuti karena siapapun dan apapun yang dilewatinya akan hangus terbakar, seperti nasib dusun Kinahrejo, dusun Argomulyo, serta dusun-dusun lainnya beserta 114 orang yang juga tewas terbakar sapuan awan panas (terhitung hingga kamis 11/11/10 pukul 13.49). Awan panas adalah gumpalan abu yang mengandung material vulkanik yang dimuntahkan oleh gunung berapi. Awan ini meluncur dengan kecepatan tinggi menyisir sisi lereng gunung dan dengan suhunya yang sangat panas menghancurkan apapun yang dilaluinya. EA Bryant, dalam "Natural Hazards" terbitan 1991, menyebut kecepatan awan panas terkecil bisa mencapai 30 meter per detik, sedangkan yang besar bisa berkecepatan 200 meter per detik. Awan mematikan ini pun bisa sangat tebal. Misal, pada letusan Gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991, tebal awan panas mencapai 30-50 meter, namun di daerah lain bisa lebih tebal lagi hingga 220 meter. Jangkauannya bisa sejauh 100 km dari pusat letusan di gunung api. Bahkan tebal awan ini bisa mencapai 1.000 meter, artinya jika tinggi badan rata-rata orang Indonesia adalah 165 meter, maka tinggi awan ini bisa sama dengan tinggi 600 orang dewasa yang dijejerkan keatas.

Awan ini juga amat panas hingga mampu menghanguskan semua benda yang dilaluinya. Ketika Gunung Pinatubo di Filipina meletus, awan panas yang dikeluarkannya bersuhu 750 derajat Celcius, sementara awan panas hasil letusan Gunung St Helens pada 1980 yang disebut letusan gunung api terdahsyat di Amerika Serikat, mencapai 350 derajat Celcius. Tapi yang paling dahsyat adalah awan panas hasil letusan Gunung Pelee di St. Pierre, Martinique, Prancis pada 1902. Suhu yang dibawa awan panas oleh gunung api ini mencapai 1.075 derajat Celcius. Panas setinggi ini setara dengan 10 kali panas air mendidih atau sepuluh kali suhu 100 derajat Celcius. Pada letusan Gunung Merapi sendiri, berdasarkan citra satelit, panas wedhus gembel yang dimuntahkan gunung ini mencapai 600 derajat Celcius atau enam kali panas air mendidih.

Dengan panas setinggi itu, ditambah kecepatan awan panas yang amat cepat, maka mustahil rasanya ada orang yang bisa selamat dari terjangan awan panas apabila ia sudah terlambat mengungsikan diri. Meskipun telah memacu kendaraan bermotor sekencang-kencangnya, tetap saja akan terkejar dan menjadi korban. Hal inilah yang diantisipasi oleh warga berdasarkan arahan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) dan dimobilisasi oleh para aparat dibantu relawan, mereka mengungsi sejauh titik aman dari puncak Merapi sebelum terlambat. Demikian mengerikannya bencana ini, bahkan dari sudut pandang ilmiah menunjukkan bahwa kekuatan bencana ini amat dahsyat. Ya, inilah kekuatan Allah SWT. Betapa Nampak kecil dan lemahnya kita.

Betapa panasnya awan yang dimuntahkan oleh Merapi, hingga apabila kita tersapu awan panas, ketika kita menghirup abunya maka paru-paru kita akan layu dan tersumbat, tubuh kita akan mendadak kaku hingga kita tewas seketika. Perumpamaannya sama seperti jika kita memanggang belalang. Wujud awan panas berdasarkan kesaksian saksi mata yang berhasil lolos dari maut adalah berbentuk gumpalan asap putih yang membumbung tinggi dengan warna yang memerah di tengah-tengahnya dan sangat cepat meluncur ke arah mereka. Sebagai insan beriman, tentu kita tak hanya memandang fenomena ini dari segi keilmuan duniawi saja, namun terpikirkah kita bahwa panasnya awan itu tak seberapa dibandingkan panas neraka?

Hadits riwayat Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw bersabda: Api kalian yang dinyalakan anak-cucu Adam adalah sepertujuh puluh dari panas api Jahanam. Para sahabat berkata: Demi Allah, bila sepanas ini saja sudah cukup wahai Rasulullah saw. Beliau bersabda: Sesungguhnya panas api tersebut masih tersisa sebanyak enam puluh sembilan bagian, panas masing-masing sama dengan api ini. (Shahih Muslim No.5077)

Jika awan panas saja mampu meluluh-lantakkan kita sedemikian hebatnya, menewaskan korbannya minimal jika selamat maka akan cacat seumur hidup, lalu terbayangkah kita dengan siksa neraka?



Marilah kita mengingat kembali akan azab yang akan kita terima di akhirat jika kita banyak mengingkari Allah selama di dunia. Tak hanya azab di akhirat, perbuatan maksiat yang kita lakukan juga akan mengundang azab di dunia. Sebagaimana yang dialami kaum Sodom, kaum Tsamud, kaum ‘Aad, dan kaum Saba’, mungkin hal ini jualah yang sedang menimpa ‘kaum Indonesia’, terkhusus ‘kaum Jawa’ ataupun kaum yang sedang menetap di Yogyakarta dan sekitarnya.

Perhatikanlah hadits berikut ini:
Ali bin Abi Thalib r.a, meriwayatkan daripada Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Apabila ummatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka bala pasti akan turun kepada mereka, yaitu:
  1. Apabila (Maghnam) harta milik umum atau negara hanya berkisar di kalangan elit tertentu
  2. Apabila (aset) amanah dijadikan sebagai keuntungan diri (ghanimah)
  3. Zakat dianggap sebagai beban hutang (diperdagangkan)
  4. (Kehendak) suami dikuasai oleh kehendak istri (Queen Control)
  5. Anak mendurhakai ibunya
  6. Tapi ia (anak) berbaik-baik (patuh) dengan (kemauan) kawannya (yang mengajak pada kesesatan)
  7. Ayahnya (juga) dijauhi
  8. Ribut dan membuat kebisingan di dalam masjid (atas sebab dunia)
  9. Diangkatnya orang fasiq (jahat dan derhaka kepada Allah) menjadi pemimpin
  10. Seseorang ditakuti karena kejahatannya
  11. Arak menjadi minuman lazim
  12. Sutera menjadi pakaian (para pria)
  13. Golongan artis (biduan) disanjung-sanjung
  14. Ketika musik menjadi budaya pujaan
  15. Generasi akhir ummat ini melaknat (menyalahkan) generasi pertama (sahabat dan Ulama)
Maka pada saat itu hendaklah mereka menanti angin merah atau gempa bumi, tanah longsor, manusia berubah sifat (menjadi seperti binatang).”

Dalam hadith riwayat Abu Hurairah mengenai hal ini terdapat tambahan, ”Dan (Qazafan) tembakan, lontaran, serta tanda-tanda lain yang datang secara berturut-turut bagaikan butir manik yang terputus benangnya dan jatuh bertubi-tubi satu lepas satu.” (HR. Tirmidzi)
Perhatikanlah ke-15 miftahul azab pada hadits diatas, bukankah ke-15-nya telah terjadi di masa ini? Maka bukankah pantas Allah menimpakan bala-Nya kepada kita?

Allah SWT berfirman:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Sudahkah bangsa ini bersyukur atas nikmat yang demikian banyak dilimpahkan Allah atas tanah ini?

Jika ditilik lebih jauh, rasanya pantaslah Allah menimpakan musibah erupsi Merapi sekarang ini terutama di daerah yang terparah yakni di tanah Keraton (Yogyakarta). Betapa banyak maksiat di tanah ini. Mulai dari pergaulan bebas, hingga paham kejawen yang berkembang pesat di Yogyakarta. Mungkin kita mengenal atau minimal pernah mendengar nama pasar kembang. Ya, lokalisasi yang telah berdiri sejak tahun 1818 ini adalah pusat prostitusi terbesar di Yogyakarta, bahkan popularitasnya telah merebak kemana-mana. Tempat ini kerap kali dikunjungi para budak nafsu syahwat untuk memenuhi bujukan syaitan. Dapat kita tebak apa yang mereka kerjakan. Ya, perzinahan menjadi rutinitas harian disana. Tak hanya perzinahan yang menjadi potret kota ini, tapi juga hedonisme (pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup) yang seakan sudah menjadi citra kota Jogja dikalangan anak muda. Hal ini tampak dari berdirinya diskotik-diskotik, club-club malam, dan banyak lagi tempat hura-hura lainnya. Selain gemerlap modernisasi yang menyimpang, ada warna lain yang juga menambah suramnya kota berjuluk kota pelajar ini. Yakni kentalnya adat kejawen yang masih terus langgeng dan dilestarikan. Kejawen adalah sisa-sisa paganisme sebelum masuknya cahaya Islam ke tanah Jawa. Hingga hari ini, paham itu masih dilestarikan khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Paham ini sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan paham Islam. Karena Islam berlandaskan tauhid kepada Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah saw. Sedangkan pelanggaran-pelanggaran kejawen adalah:
  • Sinkretisme, menyampurkan ajaran Hindu, Budha, dan Islam
  • Syirik, meyakini ada sesembahan dan tempat perlindungan selain Allah. Seperti Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang menguasai Laut Kidul, Eyang Petruk penunggu Merapi, Kyai Sapu Jagat, dan banyak ke-syirik-an lainnya.
  • Beribadah kepada selain Allah, dengan mengadakan upacara disertai penyembelihan hewan dan penyerahan sesajen untuk sesembahan selain Allah yang dipercaya mempunyai kekuatan untuk mengendalikan alam.
  • Tidak melaksanakan kewajiban shalat. Bagi penganut kejawen, eling saja sudah cukup sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, jelas ini merupakan bentuk kekafiran kepada Allah sebagaimana sabda Rasul saw: “Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah ra.)

Melihat betapa dilupakannya Allah di negeri ini, maka wajar saja rasanya Allah ‘cemburu’ lalu menimpakan bencana yang dahsyat sebagai peringatan bagi kita semua. Pergaulan bebas, seks bebas, praktek syirik, dan segala macam kesenangan-kesenangan ala syaitan bin iblis harus segera kita tinggalkan. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan ‘Ali bin Abu Thalib ra.: “Tidaklah turun musibah kecuali dengan sebab dosa dan tidaklah musibah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan bertobat.” (Al-Jawabul Kafi hal. 118)

Maka dari itu, jika kita menginginkan ketentraman dan kesejahteraan dari Allah, tentu kita harus menyikapi bencana ini sebagai pukulan agar kita kembali ke jalan Allah, kembali bersyukur dan senantiasa meng-esa-kan-Nya. Kita harus semakin mendekatkan diri kepada-Nya, bukan justru semakin menduakan Allah dengan menggelar ritual syirik seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Yogyakarta pada senin-8 November untuk menolak bala. Ya, mereka mengadakan upacara adat yang digelar di tugu Yogyakarta, dimulai dengan pertunjukan Tari Srimpi, kemudian menyembelih hewan ternak berupa sapi dan ayam, yang nantinya kepala, kaki, dan ekor dari hewan sembelihan itu ditanam di sekitar Kaliurang, dan dagingnya dibagikan kepada para pengungsi. Na’udzubillahimindzaligh

Walhasil, Merapi justru semakin parah dan semakin memuntahkan isinya yang tak kunjung mereda hingga hari ini. Semua alasan sains yang coba menjelaskan fenomena ini memang terasa logis, tapi bukan hanya itu alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Kita tak boleh mengabaikan perspektif al-Qur’an. Sebagai orang yang beriman, tentu kita memercayai bahwa Allah-lah penggenggam alam semesta ini, tiada satupun yang mampu berkuasa selain Dia. Maka, ketika bencana datang menghampiri kita, pendekatan pertama yag harus kita lakukan tentu adalah dari sudut pandang aqidah. Tiada satu daunpun yang jatuh dimuka bumi ini yang lepas dari pengawasan Allah, artinya tiada satupun kejadian dimuka bumi ini kecuali karena capur tangan Allah. Maka, instropeksilah diri kita. Seperti apa kita terhadap Allah selama ini? Apakah kita termasuk golongan orang beriman yang sabar yng diuji Allah sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Atau kita termasuk hamba Allah yang kufur sebagaimana firman Allah:
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)



Semua berpulang kepada kita, berpulang pada keyakinan dan keimanan kita. Yang pasti, bencana ini adalah teguran dari Allah, maka dari itu, instropeksilah diri kita. Allah hanya mau kita kembali ke jalan yang benar, diinullah tanpa terkotori dengan bid’ah, takhayul, dan khurafat. Allah hanya mau kita istiqomah di jalan yang benar, tanpa terkotori dengan maksiat-maksiat karena terbujuk rayu syaitan. Allah sayang kepada kita, dan semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang selalu mendapat petunjuk hidayah dari-Nya.

Semoga dengan bencana ini, Yogyakarta menjadi bersih dari segala macam bentuk praktek maksiat dan kesyirikan. Semoga dakwah di kota ini semakin bisa ditegakkan, sehingga syariat semakin bisa diagungkan. Dan harapannya, jika seluruh ummat telah beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya iman, meninggalkan ke-15 penyebab bala, dan menjaga diin yang agung ini tetap tegak di tanah keraton, insyaallah tanah ini akan menjadi tanah yang diberkahi Allah sebagaimana firman Allah:

”Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raaf: 96)


Bukan sebaliknya:

”… tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)

Amin ya Rabbal ‘alamin…

Sumber : kapandut.blogspot.com
Oleh : ~M.T.Q~
Pada : 11 November 2010 M/4 Dzulhijjah 1431 H

0 comment:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes