.

5 Oktober 2011

Ya Ayyuhannafsul Muthmainnah...


Terik panas di siang ini membuat keringat mengucur deras. Tak henti Pak Tarjo mengayuh becaknya keliling Jogja, berharap ada yang menyetopnya lalu minta antar. Kemana sajalah, yang penting ia dapat pelanggan. Bahkan ia bergumam dalam hatinya, meskipun penumpang itu minta diantarkan ke Gunung Kidul bahkan Bantul, akan dia jalani.

Masalahnya, sudah seminggu ini pendapatannya menurun. Padahal sejak 8 tahun yang lalu ia mengayuh becak, biasanya penghasilan sehari bisa untuk makan anak dan istri. Namun akhir-akhir ini, meskipun ia sudah lembur tak pulang kerumah, lalu keliling-keliling tidak nge-pos di satu titik, demi supaya bisa dapat penghasilan lebih, justru rezekinya seret dan pendapatannya semakin minim. Ini yang membuat wajah Pak Tarjo semakin kusut. Mengingat sebentar lagi anaknya yang paling kecil juga akan memasuki usia sekolah. Apakah si sulung harus mengalah? Oh tidak, Pak Tarjo ingin semua anaknya bisa sekolah. Jangan sampai seperti dirinya, yang hanya jadi tukang becak sekali-kali serabutan kerja bangunan.

"Ya Allah, kemanakah para turis? Kemanakah mbok-mbok pasar? Kemanakah anak-anak sekolah?", Pak Tarjo bingung, kehilangan penumpang-penumpang setia yang biasanya menyetop becak tua kesayangannya. Ya, angkutan umum modern yang semakin baik, belum lagi akhir-akhir ini busway semakin populer, ditambah semakin ketatnya persaingan antar tukang becak, membuat becak reot Pak Tarjo jauh tenggelam di bursa bisnis angkutan umum.

Memang sebenarnya setiap pagi dan sore Pak Tarjo memiliki penumpang tetap. Ialah langganan Pak Tarjo yakni beberapa orang anak yatim yang akan berangkat sekolah dari sebuah panti asuhan, dan setiap sore Pak Tarjo menjemput mereka dari sekolah serta mengantarkan pula beberapa orang nenek yang ingin berangkat pengajian. Namun, mereka semua adalah penumpang gratis yang tidak membayar kepada Pak Tarjo. Ya, Pak Tarjo memang sudah bertekad untuk tidak memungut bayaran kepada anak-anak yatim dan para nenek karena Pak Tarjo merasa tak pantas meminta upah kepada mereka. Bagaimana mungkin menyuruh anak yatim membayar? Atau para nenek yang hidup pas-pasan jauh dari anak dan telah ditinggal mati para suaminya.

Tak terpikirkan oleh Pak Tarjo bagaimana mungkin ia dan anak istrinya makan dari uang hasil bayaran mereka. Maka Pak Tarjo beritikad untuk dengan ikhlas mengantarkan mereka sebagai bentuk shadaqah yang bisa ia amalkan dalam keterbatasannya.

Namun, melihat kondisinya yang tengah terjepit sekarang ini, ia pun tergoda untuk menarik bayaran dari anak-anak yatim dan para nenek yang biasa menumpang becaknya itu. Mau bagaimana lagi? Daripada ia dan anak istrinya harus kelaparan, atau hutang dengan tetangga yang kian menggunung. Tapi ia berpikir lagi, tidak mungkin itu ia lakukan. Bagaimanapun ia masih punya perasaan. Dan tidak mungkin kondisinya yang terjepit membuat ia harus menjual keikhlasan. Tapi...? Masa' demi amal, diri sendiri dan keluarga harus terkorban? "Utamakanlah diri sendiri dan keluarga", pikirnya lagi. Ohh... Konflik terjadi dalam batinnya. Ditengah lamunan konfliknya itu ia terus mengayuh becaknya. Ia kebingungan, dan semakin kebingungan.

Tiba-tiba, "Allahuakbar Allaaahuakbar...", adzan zhuhur berkumandang. Sayup-sayup sampai ke telinga Pak Tarjo. "Masyaallah, sudah zhuhur lagi?", Pak Tarjo kaget. Ia tak menyangka hari berlalu begitu cepatnya. Rasanya baru beberapa jam yang lalu ia shalat zhuhur, ternyata sekarang sudah masuk waktu zhuhur lagi. Ya, zhuhur ke zhuhur ia lalui dengan pendapatan tak kurang dari 10 ribu rupiah saja. "Aduh, mau makan apa kami hari ini?", gumamnya kebingungan. Tak lama berselang, ia mampir ke sebuah Masjid kecil di pojok kampung Jogokariyan. Lalu ia lepas topi kumalnya, ia lap wajahnya dengan handuk yang tak kalah dekil dari topinya. Ia menghela nafas, tersandar sebentar di tiang dekat becaknya diparkir. Lalu seolah berusaha untuk tegar, ia gelengkan kepala dan bergegas ke tempat wudhu dengan jalan yang tegap.

"Aku harus menghadap Allah dengan baik siang ini. Aku harus do'a lagi kepada Allah tentang kondisiku seminggu terakhir ini.", katanya dalam hati. Lalu ia pun berwudhu. Segarnya kucuran air keran seakan menjadi penyejuk hatinya yang tengah limbung memikirkan kondisinya dan kondisi keuangan keluarganya. Selesai wudhu, ia bergegas masuk Masjid, shalat lalu berdzikir dan berdo'a.

"Ya Allah, bagaimanakah kiranya nasibku ini?", baru saja ia memulai do'anya seusai shalat, mendadak ia dikagetkan oleh seorang pemuda yang berperawakan rapi bersih, memakai baju muslim dan sarung. Peci nya yang hitam, dan tubuhnya yang wangi membuat Pak Tarjo keheranan, kenapa orang ini? Ada perlu apa dengan saya?

"Nuwunsewu nggih Pak, sebentar lagi akan ada kajian, monggo sekiranya bapak tidak sibuk boleh bergabung dengan jama'ah yang lain.", tutur pemuda itu ramah. "Oh, nggih mas, insyaallah.", jawab Pak Tarjo. Seketika konsentrasinya untuk berdo'a bubar. Ia melihat beberapa orang remaja sibuk mempersiapkan kelengkapan kajian ba'da zhuhur itu. Ia pun penasaran dan berpikir tak ada salahnya ia ikut, sekalian istirahat sebentar setelah beberapa hari ini diporsir kejar pendapatan. Siapa tahu karena barokahnya majlis itu, berdampak pada kemurahan rezekinya.

Sang Ustadz pun membuka muhadhoroh-nya dengan bersyukur kepada Allah dan ber-shalawat kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Lalu beliau bercerita tentang satu panggilan Allah kepada hamba-Nya yang pasti kita semua berharap panggilan itu adalah untuk kita.

Ya, dalam al-Qur'an surah al-Fajr ayat 27 sampai ayat 30, Allah memanggil hamba-hamba-Nya yang sholeh dengan panggilan, "Yaa ayyuhannafsul muthmainnah.", lalu Allah memerintahkan kepada mereka itu, "Irji'i ilaa Robbiki rodhiyatammardhiyyah.", dan Allah juga menyuruh mereka, "Fadkhuli fii 'ibadi wadkhuli jannati." Artinya, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, maka masuklah kedalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam syurga-Ku."

Ustadz tersebut menyampaikan, "Hamba Allah yang mana yang tidak mau dipanggil dengan panggilan 'yaa ayyuhannafsul muthmainnah'?", papar beliau. Pak Tarjo terperangah, ia bertanya kedalam hatinya, mungkinkah ia dipanggil Allah dengan panggilan yang demikian? Ah, rasanya mustahil.

Lalu Ustadz menjabarkan bagaimana asbabun-nuzul nya ayat ini, apa penyebab ayat ini bisa turun. Ada dua versi riwayat, yakni yang pertama ayat ini turun berkenaan tentang syahidnya paman Rasulullah yakni Hamzah radhiallahu 'anhu. Namun ada riwayat kedua dari Ibnu Abi Hatim, dari Juwaibir, dari adh-Dhahhak, bersumber dari Ibnu 'Abbas rahimahullah, mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan amalan seorang shahabat bernama Utsman ibnu Affan.

Saat masa perkembangan Islam di Madinah, kota penuh rahmat itu berada dalam kondisi kekeringan. Hanya ada satu sumur yang airnya senantiasa memancar, namanya sumur Rumat. Sumur ini dimiliki oleh seorang kafir Yahudi yang licik. Ia memberikan air bagi para Yahudi Madinah, namun menjualnya dengan sangat mahal pada kaum Muslimin.

Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapa yang akan membeli sumur Rumat untuk melepaskan dahaga. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosanya." Mendengar itu, lalu Utsman pun bergegas membeli sumur itu. Awalnya Yahudi itu tidak mau, namun karena siasat Utsman dan kepandaiannya dalam melobby, akhirnya sumur Rumat berhasil dimilikinya. Lalu Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada Utsman, "Apakah engkau rela sumur itu dijadikan sumber minum bagi semua orang.", lalu Utsman pun meng-iya-kannya. Maka turunlah firman Allah yakni surah al-Fajr ayat 27-30 berkenaan ridhanya Allah terhadap amalan Utsman yang amat baik dan bermanfaat bagi umat.

"Demikianlah Utsman, dengan kelebihan yang dimilikinya beliau manfaatkan untuk kepentingan umat, bukan untuk dirinya sendiri. Maka Allah meridhai orang yang beramal sholeh dan ikhlas untuk kemashlahatan umat. Dan orang-orang yang diridhai Allah pastilah ia akan ditolong oleh Allah. Mungkin banyak diantara kita yang mampu beramal, tapi sudahkah kita ikhlas? Mungkin banyak diantara kita juga yang mudah beramal ketika kita lapang, namun mudahkah kita tetap beramal dikala kita sempit? Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan nantinya akan dipanggil dengan panggilan 'yaa ayyuhannafsul muthmainnah'...", tutur Ustadz lalu beliau menutup muhadhorohnya.

Pak Tarjo seakan tersentak. Ia teringat niatannya yang akan memungut bayaran dari anak yatim dan para nenek yang biasa menumpang gratis padanya. Bagaimana mungkin ia bisa berniat seperti itu? Padahal mungkin itulah satu-satunya amalannya yang paling ikhlas selama ini.

Astaghfirullah... Pak Tarjo beristighfar. Bagaimana mungkin ia akan dipanggil Allah sebagai 'jiwa yang tenang', sementara ia tidak yakin akan datangnya pertolongan Allah. Ya, ketenangan jiwa hanya didapatkan ketika seorang benar-benar beriman dan ikhlas atas keimanannya, hingga ia yakin setiap masalah yang dihadapinya pasti Allah akan menolongnya. Lalu untuk apa ia gelisah kalau Allah akan menolongnya? Karena itulah ia bisa menjadi 'jiwa yang tenang'.

"Sementara aku? Baru mendapat cobaan kecil seperti ini saja aku sudah gelisah. Seolah aku lupa bahwa Allah itu Maha Tahu, Allah itu Maha Adil, Allah itu Maha Pemberi Rezeki. Bahkan aku rela menjual keikhlasanku. Keikhlasan amalanku yang cuma satu-satunya aku persembahkan untuk umat karena Allah. Astaghfirullah, ampuni hamba ya Allah. Tolong hamba, tolonglah hamba.", muhassabah Pak Tarjo dalam hati, bahkan sampai tertitik air matanya karena tak kuasa menahan gejolak hatinya.

Mungkin inilah rezeki dari Allah untuk Pak Tarjo. Allah memang tak memberinya dalam bentuk penghasilan uang, karena ternyata uang justru membuat Pak Tarjo tetap dalam kejauhan dari Allah. Namun Allah sayang pada Pak Tarjo, lalu Dia berikan Pak Tarjo cobaan hingga Pak Tarjo hampir putus asa. Ditengah kegalauan itu, Allah berikan Pak Tarjo hikmah dan hidayah, hingga Pak Tarjo dapat kembali menata hatinya, menjadi lebih dekat kepada Allah, dan rezeki uang yang akan didapatnya kedepannya menjadi lebih barokah dan mengantarkannya kepada syurga.

Setelah hari itu, Pak Tarjo kembali bersemangat. Ia amat bersyukur Allah sayang padanya. Lalu pelan-pelan namun pasti, pundi-pundi uangnya terisi kembali. Ekonomi keluarganya menjadi stabil, bahkan lebih baik dari kondisi sebelumnya. Semua karena ia ikhlas dan bertawakkal kepada Allah. Tak lupa shadaqah yang ikhlas untuk umat karena Allah, meski ditengah keterbatasan. Inilah kunci keberhasilan yang parameternya bukanlah harta dan materi, tapi parameternya adalah keridhoan Allah atas segala aktifitas kita, hingga nanti Allah memanggil kita masuk syurga dengan panggilan 'yaa ayyuhannafsul muthmainnah...'

Amin ya Rabbal 'alamin...



Yogyakarta, 2 okt 2011

Akhu Mahib

0 comment:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes