.

5 Oktober 2011

Kuraih Shaf Pertama


Langit senja mulai memerah. Memancarkan bias-bias sinar saga memecah langit. Awan yang putih berubah oranye, semakin gagah dan menggambarkan latar perjuangan insan-insan beriman yang bermandikan darah dibawahnya. Yah... tak lama lagi adzan maghrib akan berkumandang. Merah-merah itu akan berubah biru, lalu hitam. "Mudah-mudahan ada bintang malam ini.", benakku berharap.

Aku masih dijalan kala itu. Menumpangi macan besiku yang setia menemani dalam perjuangan. Kampus adalah tempat yang baru saja aku tinggalkan, hendak menuju istana kecilku yang tak lebih dari 24 meter kubik saja. Kamarku, itu yang kudamba. Kasurku yang tidak terlalu empuk, rasanya bisa menjadi surga dunia kala aku menggeletakkan badan yang tengah letih karena aktifitas seharian ini. Lebih enak lagi kalau ada yang mijitin, hehehe... Tapi sayang aku masih single, and very happy (halah).

Macan besi kukebut, ingin cepat sampai sebelum maghrib. Tapi apa daya, sepertinya semua orang dikota ini berpikiran sama denganku. Mereka tumpah ruah kejalan, hendak menuju rumah masing-masing. Ada yang dari kantor, dari sekolah, dari kampus juga, dan dari banyak tempat lainnya. Hingga jalanan macet semacet-macetnya.

Berkoarlah klakson sana-sini. Belum lagi banyak motor lain yang seolah tak punya rem, suka cari peluang dalam kesempitan, nyelip-nyelip diantara padatnya mobil yang memenuhi jalan. Aku pun tak kuasa apa-apa. Hanya bisa menunggu matahari yang semakin tenggelam. Hingga suara bedug terdengar, disambung merdunya suara adzan.

Akhirnya kuputuskan untuk minggir, mencari Masjid. Mengingat waktu maghrib yang tak panjang, sedang istanaku masih jauh. Sampailah aku di Masjid kecil pada sebuah perkampungan. Sederhana, tapi luar biasa makmurnya. Padahal belum ada 5 menit adzan berlalu, tapi aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ya, jama'ahnya ramai! Subhanallah...

Kuparkir motorku dan segera siap-siap berwudhu. Sepanjang jalan dari parkiran ke tempat wudhu, kuintip lagi kedalam Masjid. Masyaallah, aku masih tak percaya Masjid kecil jama'ahnya bisa seramai ini. Sampai di tempat wudhu pun, aku masih harus mengantri, sekitar 2 atau 3 orang sudah berbaris teratur menunggu giliran keran nganggur.

Mungkin aku agak berlebihan, tapi pemandangan ini memang luar biasa di penglihatanku. Sejauh aku shalat berjama'ah selama ini, tak pernah aku lihat jama'ah maghrib seramai ini selain pada awal-awal Ramadhan. Aku sampai berpikir, apakah mau ada pengajian atau bagaimana? Atau ada kedatangan Ustadz kondang, atau tokoh masyarakat kali ya? Tapi kuperhatikan lagi, tak ada tampang-tampang terkenal yang duduk dalam Masjid, Hmm...

Selesai wudhu aku bergegas kedalam Masjid. Kuletakkan ranselku di pojok Masjid agar tak mengganggu jama'ah ketika shalat. Rencanaku ingin menyempatkan shalat sunnah qabliyah maghrib, meskipun ia bukan sunnah mu'akkad, tapi sepertinya mu'adzin sudah bersiap-siap akan mengumandangkan iqamah, hingga kuurungkan niatku (mudah-mudahan tetap dapat pahalanya, hehe...).

Iqamah-pun berkumandang. Para jama'ah segera berdiri dan bersiap shalat. Namun, ada satu hal lagi yang kupandang takjub. Yakni mereka berebut untuk berada di shaf pertama. Bagaimana tidak? Sedangkan ketika iqamah belum berkumandang saja, ada beberapa orang yang sudah bersiap berdiri di sela-sela jama'ah yang duduk di shaf terdepan. Hingga ketika iqamah dikumandangkan, lalu jema'ah yang sedang duduk tadi tengah berdiri, mereka menyelip diantara orang-orang itu dan sukses jadi bagian dari shaf pertama. Ada pula yang tadinya berdiri di belakang, namun ketika iqamah dikumandangkan ia segera melaju kedepan dan berusaha berada di shaf pertama. Beberapa diantara mereka berhasil, namun ada juga yang gagal hingga akhirnya hanya menempati shaf kedua atau ketiga.

Kejadian seperti itu menjadi bahan pikiranku. Hingga cukup membuatku agak tak khusyuk dalam shalat. Aku terus terpikir-pikir mengapa masyarakat disini begitu bersemangatnya shalat berjama'ah di Masjid dan berlomba-lomba untuk berdiri di shaf pertama. Apa motivasi mereka?

Mereka seakan mempunyai ruh yang selama ini hilang dari hati umat. Ya, akhir-akhir ini kebanyakan umat semakin enggan pergi ke Masjid, bahkan untuk sekadar shalat berjama'ah 5 waktu. Rumah jadi jauh terasa lebih nyaman kala adzan memanggil. Mendadak kursi kayu pun berasa sofa, lantai ubin pun berasa permadani, kasur kapuk berubah jadi spring-bed. "Dapat apa di Masjid? Yang ada ntar malah dituduh teroris.", itu celetuk salah satu temanku yang pernah terlontar beberapa waktu yang lalu. Astaghfirullah, geram rasanya, tapi mungkin memang seperti itulah gambaran paradigma masyarakat akhir-akhir ini jika mendengar kata 'Masjid'.

Tapi, kenapa ada secuil kampung yang masyarakatnya masih semangat ke Masjid seperti ini? Apa mereka tidak punya tivi atau radio dirumah? Atau tidak pernah membaca koran dan majalah? Atau jangan-jangan jaringan internet-pun tak ada juga di kampung ini? Hingga mereka tak terjamah media, senjata ampuh pencucian otak sang induk teroris, Israhell dan pacar setianya Amerika Serikat. Akibatnya mungkin kesan mereka terhadap Masjid dan jama'ah Islam masih murni dan bersih dari fitnah-fitnah beracun.

Tapi seingatku, ketika saya tadi lewat rumah Pak Dukuh, beberapa pemuda tengah asyik nonton tivi, kebetulan ada siaran langsung Liga Premiere Indonesia dan mereka sepertinya sedang nonton bareng disana, namun rehat sejenak berhubung masuk waktu maghrib. Hmm..., artinya disinipun tetap dimasuki jaringan media yang hobinya menjelek-jelakkan citra Islam itu. Kalau begitu pasti ada penyebab lain.

Teringat aku dengan kemungkinan malam ini sedang ada pengajian, atau mau ada acara atau apalah. Lalu usai shalat aku tanyakan kepada seorang bapak yang sudah cukup tua yang sedang berdiri di teras Masjid. Ia hendak memakai sandalnya, rambutnya tampak beruban, namun fisiknya masih kelihatan bugar. "Ng..., assalamu'alaikum pak.", sapaku memulai perbincangan. "Oh iya, wa'alaikumussalam. Ada apa ya dik?", jawab bapak itu dengan senyum yang sangat ramah. Lalu tangannya terjulur menawarkan salaman padaku. Segera kusambut tangannya dan kami berjabat tangan. Lagi-lagi ada yang aneh, ketika kami berjabat tangan, bapak itu terasa amat ramah sekali. Serasa sudah lama kenal. Kesimpulan ini kuambil karena ketika bersalaman, tangan kirinya menepuk-nepuk pundakku. Aku rasa, kalaulah aku tidak menunjukkan sikap yang canggung, hampir-hampir aku dipeluknya.

"Ng..., begini pak, saya heran ini kok ramai sekali ya? Mau ada acara apa ya pak?", aku langsung to the point. "Hahaha, waduh si adik ini gimana toh? Kok melihat Masjid ramai begini malah heran? Bukannya seharusnya memang begini?", kata si bapak malah balik bertanya sambil cengengesan. "Hmm, memang sih pak. Tapi kan zaman sekarang sudah jarang Masjid ramai begini. Apalagi sekarang bukan bulan Ramadhan. Biasanya pada sepi pak.", aku segera meluruskan maksud pertanyaanku tadi. "Hahaha...", lagi-lagi bapak itu tertawa, bahkan kali ini lebih keras. "Yah, memang begitulah adanya sekarang dik. Banyak Masjid hanya jadi bangunan kosong. Mungkin kalau bisa dilihat, malah lebih rame jin yang sholat daripada manusia yang sholat. Hahaha...", kata si bapak itu dengan celetukan yang bagiku terdengar horror, tapi baginya itu lelucon yang lucu.

"Lhoh, terus pak, kalau begitu ini ramai karena apa dong pak?", tanyaku lagi, karena aku merasa daritadi si bapak tidak menjawab pertanyaan ini. "Yaa, kan sudah saya bilang tadi dik. Masjid ya seharusnya memang seperti ini, ramai tidak sepi. Ini sih masih lumayan, karena banyak anak-anak muda kampung sini yang masih di kampus, sama beberapa bapak-bapak itu masih di tempat kerja. Kalau adik mau lihat lebih ramainya lagi, datang ke sini pas waktu shubuh. Kalau shubuh Masjid ini lebih padat lagi dek, soalnya yang mau ke kampus masih belum pada berangkat. Yang ke kantor juga mereka sempatkan shalat shubuh di Masjid dulu baru berangkat dan seringkali mereka mengajak anak-anak mereka yang masih kecil.", jelas si bapak. Sontak aku kaget, "Ha??? Kalau shubuh malah lebih ramai lagi pak?", tanyaku refleks karena tak percaya. "Yah, kalau adik tidak percaya boleh buktikan sendiri. Insyaallah besok shubuh juga akan ramai seperti biasanya, datang saja bareng-bareng shalat jama'ah disini.", kata si bapak sambil sumringah.

Subhanallah... Aku hanya terdiam. Kagum. Bangga. Tapi juga heran. Miris, mengapa hanya Masjid ini saja yang seperti itu? Dan mengapa Masjid ini mampu seperti itu?

"Oh, baiklah kalau begitu pak. Terima kasih atas jawabannya. Ng..., sebelumnya maaf pak, ini tangan saya sudah boleh dilepas belum ya?", kataku mengakhiri pembicaraan dan baru menyadari ternyata dari tadi kami masih terus bersalaman. "Oh iya, sama-sama. Boleh dek, kan lebih baik jika salamannya lebih lama. Hehehe...", jawab si bapak, sambil (lagi-lagi) cengengesan.

Lalu aku mengambil ranselku yang tadi kuletak dipojok Masjid. Kulemparkan lagi pandangku ke sekeliling Masjid. Tidak kutemukan aktifitas apapun kecuali beberapa orang yang sedang tartil al-Qur'an, ada juga yang sedang do'a dan dzikir dengan khusyuknya, ada lagi beberapa orang bapak-bapak yang tengah berbincang di teras Masjid, terlihat mesra dan akrab sekali. Di Masjid ini, terbukti benarlah firman Allah pada surah al-Hujurat ayat 10 bahwa setiap mu'min itu bersaudara.

Aku bersiap pulang. Kubangunkan macan besiku, sambil kupandang jalanan yang sudah mulai lengang. Langit yang hitam menjadi tumpuan mataku ketika aku masih melamun memikirkan lagi mengapa Masjid ini bisa seramai ini, kemudian suasananya bisa sehidup ini. Dan yang masih menjadi pertanyaan besar di benakku adalah tentang perilaku dahsyat jama'ah Masjid yang berebut untuk berada di shaf pertama dalam shalat jama'ah.

Centi demi centi, menuju beberapa kilometer, melajulah macan besiku menuju rumah. Akhirnya sampailah aku di surga 24 meter kubik. Kurebahkan diriku diatas kasur keras yang terasa empuk. Letih sekali hari ini. Aku mulai memejamkan mata, menikmati semilir angin dari kipas angin kecil diatas meja lesehan di kamarku. Tak lama berselang, kudengar adzan isya' berkumandang, lalu akupun bersegera ke Masjid dekat rumahku untuk shalat berjama'ah.Sesampainya di Masjid, degg...! Rasanya beda sekali. Sepi... senyap... kuhitung, satu, dua, tiga, yaah cuma sekitar 7-10 orang saja. Padahal Masjid di tempatku ini luas, besar, bangunannya juga cukup megah. Beda sekali dengan Masjid kecil yang kusinggahi tadi maghrib. Kecil, sempit, panas, bangunannya sederhana, tapi terasa jauh lebih tentram dan nyaman karena diisi oleh banyak orang-orang beriman.

Iqamah cepat dikumandangkan. Yah, mau menunggu siapa lagi? Selama apapun jeda antara adzan dan iqamah dibuat untuk menunggu jama'ah, toh kuantitasnya tak jua bertambah. Hanya dua tiga orang lagi saja yang datang setelahku. Mereka semua orang-orang tua yang bahkan sudah menggunakan tongkat untuk berjalan. Sementara tak jauh dari situ, kulihat di pos ronda para pemuda tengah asyik tertawa-tawa. Entah mereka sedang main kartu atau domino, yang pasti sepertinya mereka pakai sumbat telinga. Karena sudah adzan pun seolah tak ada apa-apa, merasa terpanggil untuk shalat pun tidak. Na'udzubillah...

Selesai shalat aku kembali ke surga 24 meter kubik ku. Rencananya aku mau langsung tidur, tapi sepertinya godaan on-line membuatku menunda jam tidurku. Ya, untung saja ada modem di kamar, laptop setiaku juga selalu manut, langsung saja aku operasikan dan dalam sekejap terbukalah jendela dunia.

Disamping aktifitas utamaku ketika on-line (nge-eksis di situs jejaring sosial, hehe...), aku teringat kejadian tadi maghrib, hingga aku searching di mbah-nya search engine, dan kutemukan sebuah tulisan menarik seputar memakmurkan Masjid.

Disana kujumpai penulis menukil sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Kalau seandainya manusia mengetahui besarnya pahala yang ada pada panggilan (adzan) dan shaf pertama kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan undian maka pasti mereka akan mengundinya. Dan kalaulah mereka mengetahui besarnya pahala yang akan didapatkan karena bersegera menuju shalat maka mereka pasti akan berlomba-lomba (untuk menghadirinya). Dan kalaulah seandainya mereka mengetahui besarnya pahala yang akan didapatkan dengan mengerjakan shalat isya dan subuh, maka  pasti mereka akan mendatanginya meskipun harus dengan merangkak." (HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 437)

Masyaallah, belum selesai aku ter-nganga membaca hadits yang dahsyat itu ternyata penulis masih mengutip hadits lain dari seorang shahabat bernama Abu Said al-Khudri radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat para sahabatnya terlambat, maka beliau bersabda kepada mereka : "Kalian majulah ke depan dan bermakmumlah di belakangku, dan hendaklah orang yang datang setelah kalian bermakmum di belakang kalian. Terus-menerus suatu kaum itu membiasakan diri terlambat mendatangi shalat, hingga Allah juga mengundurkan mereka (masuk ke dalam surga)." (HR. Muslim no. 438)

Waw! Lagi-lagi aku tercengang membaca sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang dahsyat itu. Rasanya mengena sekali. Padahal selama ini yang kutahu hanya hadits yang berbunyi : "Sebaik-baik shaf kaum laki-laki adalah di depan, dan sejelek-jeleknya adalah paling belakang. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah paling belakang, dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan." (HR. Muslim no. 440). Yang hadits ini pun tidak semua muslim memahaminya dengan baik.

Mungkin hadits-hadits tersebutlah yang dipahami oleh masyarakat disekitar Masjid kecil tadi maghrib. Mereka memahami bahwa shalat berjama'ah di Masjid bagi kaum pria itu hukumnya adalah sunnah mu'akkad, dan bagi kaum wanita shalat berjama'ah di Masjid tetap diperbolehkan jika kondisi nya aman dan memungkinkan. Bahkan aku teringat bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam amat menekankan bagi kaum pria agar melaksanakan shalat wajib berjama'ah di Masjid. Buktinya adalah pernah suatu ketika seorang buta datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam minta keringanan untuk tidak ikut berjama'ah di Masjid dengan alasan tidak ada orang yang menuntunnya, maka Rasulullah tetap menyuruh pria buta itu datang ke Masjid jika ia masih mendengar suara adzan (cek shahih Muslim).

Inilah bukti bahwa jama'ah itu memang penting! Ya, bagaimana tidak? Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam amat menekankan agar seorang muslim tetap dekat dengan jama'ah, karena disanalah ruh orang-orang beriman. Dalam kesibukan sehari-hari kita,  kita sampai jarang berjumpa saudara-saudara seiman, maka ketika adzan itulah jawaban atas kerinduan. Semua saudara seiman kita seharusnya berkumpul di Masjid kala waktu shalat, dan disanalah kita akan berukhuwah, saling menasihati, saling mengingatkan, saling menguatkan, dan silaturrahim akan terjalin, dan kekuatan umat pun akan terbangun dan kokoh. Urusan seorang itu bahkan buta, itu bukan masalah. Yang penting ia datang ke Masjid, maka seorang saudaranya pasti akan membantunya.

Inilah fungsi Masjid, sebagai wadah jama'ah, BUKAN SARANG TERORIS!

Bagaimana mungkin rumah Allah yang mulia ini kini difitnah sebagai cikal bakal tumbuhnya kekacauan? Sungguh itu adalah fitnah yang amat keji, dan yakinlah Allah akan membalas semua makar itu, karena Allah sebaik-baiknya pembalas tipu daya.

Masyaallah, aku terus berdialog dengan hatiku yang semakin bersemangat menggali ibrah (hikmah pelajaran) lebih dalam lagi dari kejadian tadi maghrib. Senyum-senyum sendiri, kadang geleng-geleng kepala sendiri, hahaha... aku sudah seperti orang kesurupan. Ya, kesurupan hidayah dari Allah, duh nikmatnya...

Kembali hadits tadi kubaca-baca. Ya, memang inilah yang dipahami masyarakat Masjid kecil tadi maghrib. Mereka tahu, bahwa shaf pertama jama'ah laki-laki memiliki keistimewaan luar biasa. Baca saja sendiri hadits tadi lagi. Bahkan Rasulullah sampai menggambarkan seandainya kita tahu benar betapa luar biasanya shaf pertama, maka kita pasti akan mengadakan undian demi mendapatkan singgasana sajadah di shaf pertama. Subhanallah...

"Tahukah kamu sesuatu apa yang sampai-sampai jadi objek undian itu?", tanya kata hatiku. "Tentulah ia sesuatu yang sangat istimewa. Istimewa! Sangat istimewa!", kata hatiku sedikit bawel. Ya, aku jadi teringat salah satu kuis reality yang tayang di tivi. Tebak-tebakan tirai, mengundi nasib dan keberuntungan, hanya demi mendapat sebuah mobil yang kelihatannya mewah. Itu hanya mobil, ah... cuma duniawi. Sedangkan ini? Pahala dari Allah yang luar biasa. Efeknya dunia akhirat coy! Bagaimana mungkin kita tidak ngiler? Untung saja kita tidak diberi tahu seberapa besar manfaatnya jika kita bisa shalat berjama'ah di shaf pertama. Kalaulah kita tahu, mungkin sampai terjadi pertumpahan darah demi memperebutkan shaf terdepan. Lebay? Tidak, ini tidak lebay sama sekali. Inilah kenyataannya.

Siapa yang tidak mau masuk surga lebih dulu (baca hadits selanjutnya)? Adakah diantara kita yang mau masuk surga belakangan? Memang sih judulnya ujung-ujungnya tetap masuk surga, tapi kalau bisa lebih dulu kenapa harus belakangan? Kalau surganya udah keburu penuh gimana? Kalau malaikatnya berubah pikiran gimana?

Maka wajarlah kalau seandainya kita tahu betapa besar manfaat bagi diri kita jika kita dapat shaf pertama, maka kita akan berusaha dengan berbagai cara supaya kita bisa jadi yang terdepan.

Aku teringat dengan cerita temanku yang Alhamdulillah Allah memberinya kesempatan berkunjung ke tanah suci Makkah dan Madinah dalam lawatan umroh nya. Ia memang seorang yang baik dan cukup ilmunya, hingga kala itu ia telah mengetahui bagaimana keutamaan shaf pertama.

Ketika ia pulang, aku tanyakan padanya, "Gimana? Dapat nyium hajarul aswad gak?". Dia menjawab, "Alhamdulillah dapat gan, tapi ada yang jauh lebih nikmat daripada itu. Luar biasa, istimintil dah pokoknya...". Aku penasaran, "Apaan tuh?" (Udah kayak Om Jaja Miharja pas bawain kuis dangdut zaman dulu aja tuh, hehehe...). "Aku diberi Allah kesempatan berada di shaf pertama, pas shalat maghrib lagi. Imam nya Syaikh as-Sudais yang suaranya merdu itu lho. Yang murottal MP3 nya sering diputar kalau sebelum Jum'atan... Hehe.", jawabnya sambil senyum-senyum, membayangkan indahnya kala dia berhasil dapat shaf pertama.

Aku heran, memang apa bagusnya?

"Lah, cuma gitu doang? Memang kenapa? Biasa aja tuh...", komentarku yang sedikit agak ketus, karena aku tidak paham apa hebatnya jadi shaf pertama. "Wah, jangan anggap sepele gan...", tukasnya. "Kamu tahu? Shaf pertama itu keutamaannya luar biasa. Cari sendiri deh haditsnya. Bayangin aja, shalat di Masjidil Haram itu pahalanya 100.000 kali lipat daripada shalat di Masjid lain. Belum lagi kalau berjama'ah pasti dilipatgandain jadi 25 sampai 27 derajat. Belum lagi kamu shalat di shaf pertama, shaf yang paling utama. Dan kamu tahu aku shalat dimana? Di depan Ka'bah Men! Depan Ka'bah! Artinya, aku shalat di shaf paling pertama dari seluruh shaf di dunia... Mana imamnya Syaikh as-Sudais lagi, aku dengerin murottalnya live in shalat, gak perlu pakai MP3 segala. Subhanallah...", ia bercerita sambil menerawang langit dan senyam senyum sendiri, tangannya mengelus-elus dada dan akhirnya memegang pipinya yang sudah pegal karena kebanyakan senyum.

Subhanallah. Kalau sekarang kuingat lagi ceritanya itu, memanglah wajar ia merasa shalatnya saat itu jauh lebih istimewa daripada mencium hajarul aswad. Jauh terasa lebih nikmat daripada ia meminum zam-zam. Jauh terasa lebih indah daripada ia shalat dalam hijr Ismail. Ia bercerita bagaimana perjuangannya meraih shaf pertama di depan pintu Ka'bah. Pernah sekali ia shalat di shaf pertama, tapi di belakang pembatas hijr Ismail, berbeda sisi Ka'bah dengan sang imam. Ia tak puas. Lalu ia mencoba lagi untuk shalat di shaf pertama yang berada di belakang imam. Ia memang mengincar waktu maghrib, karena biasanya imamnya adalah Syaikh as-Sudais yang terkenal syahdu suaranya dan baik akhlaqnya.

Percobaan pertamanya gagal, karena ia terlambat mem-booking shaf. Padahal ia sudah datang setengah jam sebelum waktu adzan. Akhirnya percobaan keduanya ia lakukan lagi, dan gagal lagi. Padahal ia sudah berhasil duduk di shaf pertama, tapi mendekati waktu shalat ia disuruh pindah ke shaf belakang karena shaf tempatnya duduk sudah ada yang punya, yakni para pemuka-pemuka Masjidil Haram. Masyaallah, betapa geramnya dia. Dia mencoba protes tapi yang ada dia malah didorong-dorong oleh Polisi Masjid, dipaksa pindah ke shaf belakang. Percobaan ketiganya barulah ia berhasil. Satu jam sebelum adzan dia sudah nongkrong dekat rukun Iraqi. Satu jam dia bertahan ditabrak-tabrak oleh orang yang sedang tawaf. Dia diprotes oleh banyak orang karena dianggap mengganggu lintasan tawaf, tapi dia bersikukuh tetap duduk disana. Semakin mendekati waktu shalat, semakin banyak orang yang duduk berbaris disampingnya.

Hingga duduklah di sebelahnya seorang pemuda Badui yang amat ramah dan humoris. Ia tampaknya adalah santri dari Ma'had Masjidil Haram. Lalu dengan bahasa arab temanku ini yang pas-pasan, ia mencoba ngobrol dengan pemuda arab yang tak pandai berbahasa inggris itu. Walhasil, si pemuda arab tadi terkesan dengan temanku dan suka berbincang dengannya. Sampai sempat juga sebenarnya temanku itu diusir oleh Polisi Masjid karena shafnya mau dipakai untuk para Syaikh Masjidil Haram, tapi si pemuda arab tadi membela temanku dan akhirnya ia tetap berada pada shafnya.

Subhanallah, demikianlah perjuangan seorang temanku demi mendapatkan shaf pertama. Shaf terbaik yang ada dari sekian banyak shaf dalam Masjid.

Lagi-lagi, inilah yang dipahami oleh masyarakat Masjid kecil tadi sore, hingga mereka berebut berada di shaf pertama. Mereka paham, posisi menentukan kesuksesan masa depan. Demikianlah ajaran Islam, sungguh luar biasa.

Saya pernah ikut sebuah training motivasi, dan sang Trainer menyuruh peserta untuk mengisi kursi didepan yang rata-rata masih kosong. Dia mengatakan, "Anda adalah calon orang sukses, calon orang terdepan, maka biasakanlah diri anda berada di depan, supaya anda tidak kaget ketika benar-benar menjadi orang sukses dan terdepan.", maka sungguh dengan ini kukatakan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah jauh lebih dulu mengajarkan itu.

Inilah kesempurnaan Islam. Oh..., aku jadi merinding sendiri.

Dari Masjid kecil yang masyarakatnya menghidupkan sunnah itu. Mulai dari membiasakan shalat wajib berjama'ah di Masjid, kemudian jama'ah pria nya berebut ada di shaf pertama, belum lagi si bapak yang mengajariku bersalaman ketika berjumpa, dengan salaman yang hangat dan diperlama. Belum lagi masyarakatnya yang terbiasa shalat shubuh di Masjid, mungkin begitu pula dengan shalat isya', karena mereka tahu bahwa dua shalat itu memiliki keutamaan yang luar biasa jika dilaksanakan di Masjid, dan hanya orang-orang munafiq sajalah yang merasa berat untuk mengerjakan dua shalat itu berjama'ah di Masjid (cek shahih Bukhari no. 141 dan shahih Muslim no. 651).

Ya, dari Masjid kecil itulah aku dapat banyak hikmah dan pelajaran. Lagi-lagi Allah memberi hidayah kepadaku agar aku lebih dekat dengan-Nya.

Sungguh tertanam tekad dihati ini bahwa akupun akan selalu berusaha menjadi yang terdepan. Dimulai dari shalat berjama'ah di Masjid. Aku tak mau kalah dengan temanku yang tadi kuceritakan. Aku bangga dengan Islam, karena ia mengajarkanku hidup dalam kesuksesan. Tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Wahai shaf pertama, tunggu aku dalam setiap waktu shalat. Jika aku sering menjadi bagian darimu, pastilah aku akan jadi bagian terdepan dalam setiap karir-karirku. Jika aku sering menjadi bagian darimu, pastilah aku jadi bagian dari golongan orang-orang yang pertama masuk kedalam surga.

Amin ya Rabbal 'alamin.

Yogyakarta, 5 Oktober 2011
Akhu Mahib

0 comment:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes