.

24 September 2011

Kewajiban Pemisahan Laki-laki dan Perempuan Dalam Kehidupan Islam

Dalam kehidupan Islam, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syariat dalam segala kondisi bahwa kehidupan kaum pria terpisah dari kaum wanita, baik dalam kehidupan khusus atau kehidupan umum, tidak ada pengecualian. Allah Swt. berfirman, dalam salah satu potongan ayat-Nya :

…kaum pria dan kaum wanita yang gemar bersedekah, kaum pria dan kaum wanita yang gemar berpuasa, kaum pria dan kaum wanita yang senantiasa memelihara kehormatannya, kaum pria dan kaum wanita yang banyak menyebut nama Allah… (QS al-Ahzab [33]: 35)


Sungguh, kehidupan pria dan wanita yang terpisah semacam ini telah dimanifestasikan secara praktis dan bersifat massal oleh masyarakat Islam pada masa Rasulullah saw. dan pada seluruh kurun sejarah Islam. Namun demikian, Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan ketetapan yang membolehkan wanita melakukan beberapa urusan dalam kehidupan umum (melakukan yang wajib, yang mandub, dan ataupun melakukan yang mubah) dan melakukan interaksi (khultah) diantara keduanya. Untuk menunaikan perkara-perkara tersebut, seorang wanita selanjutnya harus menyesuaikannya dengan hukum-hukum syariat yang menyangkut tata pergaulan (ijtima’) atau sistem interaksi pria dan wanita (khultah).

Urusan-urusan ini terbagi kepada dua bagian:
1. Urusan yang tidak memerlukan berkumpulnya (ijtima’) diantara laki-laki dan perempuan bersama-sama atau interaksi sosial (khultah) diantara mereka. (khultah atau interaksi sosial adalah berkumpul dan bercakap-cakap bersama).
Contohnya seperti berjalan di jalan-jalan, pergi ke masjid, berjalan ke sekolah, ke kampus, kedai, bertamasya dan perkara-perkara yang seumpamanya. Wanita tidak dibolehkan untuk bercampur dengan lelaki ketika melakukan urusan-urusan tersebut, karena hukum asal laki-laki dan wanita di dalam Islam adalah terpisah (infishal). Dan selama pelaksanaan apa-apa yang dibolehkan Syari’ah bagi wanita tidak memerlukan interaksi sosial (khultah) dan berkumpul antara laki-laki dan wanita (ijtima’), maka hukumnya tetap seperti itu, terpisah (infishal).
Sehingga wanita boleh berjalan di jalan-jalan, pergi ke masjid, atau melawat keluarganya atau pergi ke taman baik dengan berjalan atau menaiki kendaraan (dengan syarat tidak melebihi jarak yang memerlukan seorang Mahram/jarak safar) dan ia boleh melakukan kesemuanya itu tanpa interaksi sosial (khultah) dengan lelaki asing, dia juga tidak berkumpul dan bercakap-cakap bersama-sama. Dia boleh menaiki bis tanpa bercakap-cakap dengan lelaki asing yang duduk di sebelahnya, dia boleh memasuki taman dan berjalan-jalan didalamnya tanpa melakukan interaksi (khultah) dengan laki-laki asing.

Di dalam perkara-perkara umum seperti ini seorang wanita tidak memerlukan seorang Mahram bersamanya. Demikian juga tidak dibutuhkan jalan di taman khusus untuk para wanita dan jalan lain untuk laki-laki. Atau jalan raya di kota khusus bagi laki-laki dan jalan raya lain untuk para wanita. Namun, jalan dan jalan raya tersebut adalah satu -dimana mereka (laki-laki dan wanita) berjalan-, tetapi tanpa melakukan interaksi (khulthah) dengan makna yang sudah disebutkan tadi.
Perlu juga diberi perhatian bahwa wanita perlu menutup auratnya selama berada ditempat-tempat umum tersebut, memakai pakaian sesuai yang telah ditetapkan oleh Syariah yaitu jilbab dan khimar, serta tidak bertabarruj dan berkhalwat. Seluruh perkara ini, dimana syara’ telah membolehkan wanita melakukannya dan pelaksanaannya tidak membutuhkan berkumpulnya wanita dengan laki-laki.

2. Urusan yang memerlukan berkumpulnya (ijtima’) diantara laki-laki dan wanita.
Contohnya seperti berjual-beli, sewa-menyewa, pengobatan dan perawatan, belajar-mengajar, memberi kuliah ilmiah umum, mengembangkan harta dengan pertanian atau perindustrian. Dalam keadaan semacam ini, maka seorang laki-laki dibolehkan berinteraksi dengan kaum wanita karena memang aktivitas tersebut mengharuskan adanya interaksi. Aktivitas tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya interaksi. Hanya saja, tatkala seorang laki-laki melakukan interaksi dengan seorang wanita dalam aktivitas-aktivitas yang memerlukan berkumpulnya (ijtima’) diantara laki-laki dan wanita tersebut di atas, ia harus membatasi dirinya pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan aktivitas tersebut. Ia dilarang (haram) melakukan interaksi dengan wanita tersebut di luar konteks perbuatan tersebut atau hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan interaksi tersebut. Semisal bertanya dalam masalah-masalah pribadi.

Hukum-hukum Khusus Untuk Mengatur Pergaulan Diantara Laki-laki dan Wanita Dalam Kehidupan Umum

Sholat di masjid membutuhkan berkumpulnya (ijtima’) diantara laki-laki dan wanita. Oleh karenanya, ada hukum yang khusus dimana baris lelaki terpisah dari wanita, yaitu laki-laki dalam barisan depan dan wanita di baris yang belakang, tanpa memerlukan kehadiran seorang Mahram diantara orang yang sholat.
Melakukan ibadah haji juga memerlukan Ijtima’ diantara laki-laki dan wanita tanpa pemisahan barisan. Oleh karena itu, maka ada hukum yang khusus hanya untuk ibadah haji bagi laki-laki dan wanita. Ketika melakukan pengobatan atau merawat orang sakit, ada beberapa perkara memerlukan ijtima’ diantara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu ada hukum yang khusus dimana dibenarkan melihat bahagian yang sakit, walaupun termasuk aurat, dan sebagainya.
Demikian pula tatkala berada di bangku sekolahan atau perkuliahan. Meskipun wanita dan laki-laki diperbolehkan berinteraksi dalam aktivitas semacam ini (belajar mengajar) akan tetapi keterpisahan tetap harus diperhatikan. Sebab, kewajiban infishal ini berlaku umum, terlebih lagi dalam kehidupan umum. Sehingga, tidaklah boleh murid/siswa laki-laki dan wanita duduk secara bersama-sama.

Hukum Tentang Ikhtilath
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilath adalah campur baurnya laki-laki dan perempuan. Ikhtilat adalah lawan dari infishal (terpisah). Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara pria dan wanita. Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi apapun, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkannya. Pada dasarnya, ikhtilath itu dibenarkan dalam aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan oleh syara’. Terutama aktivitas yang di dalamnya mengharuskan adanya interaksi (aktivitas dalam urusan yang kedua). Misalnya, bercampur baurnya laki-laki dan wanita dalam aktivitas jual beli, atau ibadah haji (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam).

Dalam kitab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, bahwa “Oleh karena itu, keterpisahan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan Islam adalah fardlu. Keterpisahan laki-laki dan wanita dalam kehidupan khusus harus dilakukan secara sempurna, kecuali yang diperbolehkan oleh syara’. Sedangkan dalam kehidupan umum, pada dasarnya hukum asal antara laki-laki dan wanita adalah terpisah (infishal). Seorang laki-laki tidak boleh berinteraksi di dalam kehidupan umum, kecuali dalam hal yang diperbolehkan, disunnahkan, atau diwajibkan oleh Syaari’ (Allah SWT), dan dalam suatu aktivitas yang memestikan adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, baik pertemuan itu dilakukan secara terpisah (Infishal), misalnya, pertemuan di dalam masjid, ataupun pertemuan yang dilakukan dengan bercampur baur (ikhtilath), misalnya ibadah haji, dan dalam aktivitas jual beli.” (ibid).

Ikhtilath (campur baur) berbeda dengan interaksi. Interaksi bisa berbentuk terpisah (infishal) maupun berbentuk ikhtilath (bercampur baur). Bolehnya seseorang melakukan interaksi dengan lawan jenisnya, bukan berarti membolehkan dirinya melakukan ikhtilath. Sebab, ada interaksi-interaksi yang tetap harus dilakukan secara terpisah, misalnya seperti di dalam masjid, dalam majelis ilmu, dalam walimah, dan sebagainya. Adapula interaksi yang dilakukan boleh dengan cara bercampur baur-baur, misalnya jual beli, ibadah haji dan sejenisnya.

Pada interaksi-interaksi (pertemuan) yang di dalamnya boleh dilakukan dengan cara ikhtilath, maka seorang laki-laki diperbolehkan melakukan ikhtilath. Misalnya bercampur baurnya laki-laki dan wanita di pasar-pasar untuk melakukan aktivitas jual beli; bercampur baurnya laki-laki dan wanita di Baitullah untuk melakukan Thawaf, bercampur baurnya laki-laki tatkala berada di halte bus, di tempat-tempat rekreasi dan yang sejenis dengannya.

Namun demikian, walaupun antara laki-laki dan wanita boleh berikhtilath dalam keadaan ini, akan tetapi antara mereka tetap tidak boleh berinteraksi (khultah) seperti bercengkerama, mengobrol, atau melakukan aktivitas selain aktivitas yang hendak ia tuju. Misalnya, seseorang boleh bercampur baur dengan wanita di dalam kendaraan umum, akan tetapi ia tidak boleh bercakap-cakap dengan wanita yang berada di sampingnya, kecuali apabila ada hajah yang syar’iy. Namun, jika masih bisa dihindari adanya ikhtilah, akan lebih utama jika seseorang tidak berikhtilath. Misalnya, laki-laki memilih tempat duduk yang diisi oleh laki-laki. Atau, negara dapat memberlakukan pemisahan tempat duduk bagi laki-laki dan wanita di kendaraan umum.
Akan tetapi, jika interaksi itu tetap mengharuskan adanya keterpisahan, maka ikhtilath tidak diperbolehkan. Misalnya, ikhtilathnya wanita dan laki-laki dalam walimah, di dalam masjid, di dalam bangku sekolah, dan yang sejenis dengannya. Ikhtilath dalam keadaan semacam ini tidak diperbolehkan.

Tampak jelas bahwa, dari sistem atau tata aturan Islam yang digunakan sebagai solusi terhadap interaksi (khultah) atau pergaulan (ijtima’) pria dan wanita yang saat ini sering memunculkan berbagai permasalahan, namun dengan diterapkannya hukum-hukum syariat tersebut akan dapat menjamin tidak adanya kerusakan yang muncul sebagai akibat dari interaksi atau pergaulan pria dan wanita. Sehingga akan diperoleh kehidupan yang serius dan produktif demi memenuhi kebahagian dan kesejahteraan yang dibutuhkan oleh kaum pria dan kaum wanita dalam kehidupannya sekaligus terwujudnya kesucian dan ketakwaan mereka. Oleh karenanya, mari berjuang bersama untuk mewujudkannya kembali dalam kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah. [NoviTa Aryani M.Noer]
Wallahu a’lam bi al-shawab..


Kitab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
Nasyroh Tanya Jawab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Sheikh Ata ibn Khaleel al-Rashta

0 comment:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes